http://cdn0-a.production.images.static6.com/ndsdm1kOsuzOyyzoZZ7aChCbUQQ=/640x355/smart/filters:quality(75):strip_icc():format(jpeg)/liputan6-media-production/medias/1478197/original/

Purwokerto – Mulut Kusworo menganga. Ia terlihat takjub melihat pemandangan di depannya. Pohon besar kualitas nomor wahid di lereng Gunung Slamet itu tumbang seakan tak berdaya.

“Pohon berumur ratusan tahun itu dibuang ke jurang begitu saja,” ujar Kusworo, anggota Badan Permusyawaratan Desa Sambirata Kecamatan Cilongok Banyumas, Kamis, 19 Januari 2017.

Kusworo naik ke lereng Gunung Slamet untuk menjawab rasa penasarannya. Sudah tiga bulan ini, air sungai yang mengalir di desanya keruh.

Padahal, sungai yang selama ini menjadi sandaran hidup puluhan ribu warga di 14 desa itu baik-baik saja. Tak pernah keruh sekalipun musim hujan. Ia bahkan biasa minum langsung dari sungai tanpa harus dimasak.

Butuh waktu 10 jam bagi Kusworo untuk sampai di lokasi penyebab keruhnya air. Ia mendaki lereng dengan cara membabat semak-semak. Ditelusurinya sungai hingga ke hulu.

Tak hanya pohon alami yang dibabat, bukit yang dilintasi proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi PT Sejahtera Alam Energy (SAE) itu juga dibabat, rata dengan lembah. Tanahnya dibuang ke sisi kanan dan kiri bukit.

“Pengeprasan dan pembabatan hutan itu untuk membuat akses jalan proyek,” kata Kusworo.

Ia melihat belasan alat berat dan mesin gergaji dengan deru suara yang berkejaran dengan bunyi tumbangnya pohon. Ia hampir menangis melihat pemandangan itu.

Pepohonan di hutan yang selama ini menampung air bersih bagi desanya, tumbang satu per satu. Berubah menjadi jalan selebar 16 meter untuk akses menuju lokasi pengeboran panas bumi.

“Kelak bagaimana nasib anak cucu kami kalau hutan dibabat seperti ini?” tanya dia retoris.

Baca lebih lanjut