Filosofi Bendera Bulan Bintang


BANDA ACEH – Usulan penggunaan bendera bulan bintang sebagai bendera Aceh yang muncul dalam Rancangan Qanun Bendera dan Lambang Aceh dipertanyakan sejumlah pihak saat Rapat Dengar Pendapat Umum pada 19-20 November lalu.
Di antara usulan yang muncul adalah kemungkinan memakai kembali bendera masa Kerajaan Aceh Darussalam. Sedangkan bendera yang diusulkan dalam rancangan qanun, sama persis dengan yang pernah dipakai Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Dilansir ATJEHPOSTcom soal kemungkinan ini, Sekretaris Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, Abdullah Saleh menjelaskan.

”Menurut pandangan saya, masalah bendera dan lambang ini, tidak dilihat dalam fase GAM saja, tapi harus dilihat fase Aceh sebelumnya. Sesungguhnya bendera yang diajukan itu sudah ada sejak masa kesultanan Aceh. Jadi, klaim ini bukan semata klaim GAM.”

Menurut Abdullah Saleh, bendera itu hanya simbol-simbol yang digali dari nilai-nilai yang hidup dan berkembang di Aceh.
“Misalnya, simbol warna putih adalah simbol suci, dan bukan hanya Aceh yang menggunakan putih sebagai simbol. Banyak juga bendera yang memakai warna putih. Begitu juga dengan warga merah sebagai simbol keberanian yang berlaku universal,” kata Abdullah Saleh.
Sedangkan garis hitam di antara bulan dan bintang merupakan bentuk duka cita untuk mengenang para syuhada yang telah gugur. “Itu juga bukan hanya Aceh yang menggunakan hitam sebagai simbol duka cita, di mana-mana juga begitu,” kata Abdulah.
Abdulah menjelaskan, penggunaan bulan bintang sebagai simbol Islam yang selama ini menjadi ciri khas Aceh.
“Di Indonesia pun juga banyak yang menggunakan bulan bintang sebagai tanda Islam. Bahkan di puncak-puncak mesjid juga. Jadi, tidak perlu terlalu berlebihan menanggapi usulan bendera dan lambang Aceh ini,” kata politisi Partai Aceh ini.

Meski begitu, Abdullah Saleh menambahkan, rancangan qanun itu masih harus melalui sejumlah tahapan, termasuk konsultasi ke Departemen Dalam Negeri. “Dalam waktu dekat kami akan berangkat ke Jakarta,” ujarnya.

Separatiskah Bendera dan Lambang Aceh?

foto: AtjehPost

Bendera dan Lambang Aceh sedang digodok oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. Ada yang meminta agar DPR cepat mengesahkan qanun itu. Ada pula koreksi terhadap lambang dan bendera yang sama dengan milik GAM masa konflik dulu. Kontroversi kian hangat setelah Panglima Kodam Iskandar Muda menyebutnya berbau separatis. Apa penjelasan DPR Aceh?

__________________________________________
Hasbi Abdullah berjalan dengan langkah tenang memasuki ruang serba guna gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, Selasa pekan lalu. Senyum mengembang di wajah Ketua DPRA itu. Di dalam ruangan, sejumlah orang sudah menunggu kedatangannya. Di mulut pintu, sejumlah orang yang sudah berdiri menyambutnya dengan bersalaman.
Tak lama, Hasbi langsung menuju tempat duduknya di posisi paling depan. Ia diapit Ketua Komisi A DPRA Adnan Beuransyah dan sejumlah anggota komisi yang menangani urusan politik dan hukum itu. Di hadapan mereka, hadir sejumlah pejabat daerah dari kabupaten/kota se-Aceh, mulai dari level bupati, para ketua dewan, hingga para Kepala Bagian Pemerintahan Setdakab se-Aceh.
Begitu duduk, Hasbi langsung mengambil selembar kertas berisi kata-kata sambutannya. Hari itu, ia membuka Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) tentang Rancangan Qanun Bendera dan Lambang Aceh. Di depannya, para peserta rapat tampak serius menyimak satu demi satu butir-butir yang tercantum dalam draf Rancangan Qanun Aceh tentang Lambang dan Bendera.
Hari itu adalah rapat dengar pendapat yang kedua membahas soal Qanun Lambang dan Bendera. Sehari sebelumnya, bertempat di gedung AAC Dayan Dawood Unsyiah, wakil rakyat itu juga melakukan hal yang sama dengan mahasiswa, aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan juga masyarakat umum. Hadir juga dalam acara itu beberapa tokoh masyarakat gampong, seperti imum mukim.
Dua hari anggota DPR menyaring pendapat dari luar penghuni gedung legislatif, membuat banyak usulan dan perdebatan mengemuka. Sejak DPRA mempublikasikan qanun tersebut di media cetak dan online, perdebatan mulai berlangsung.
Dalam dengar pendapat pertama di Unsyiah, beberapa pendapat mengemuka. Salah seorang peserta, menyarankan kalau bisa bendera Aceh yang nanti akan disahkan bisa dikibarkan tanggal 4 Desember 2012 nanti.
“Saya meminta agar tanggal 4 Desember bisa dimasukkan dalam hari-hari besar supaya bendera tersebut bisa dikibarkan,” kata Rukaiyah, seorang perempuan yang berasal dari Aceh Besar.
Perdebatan paling utama adalah soal bendera yang dimasukkan oleh penyusun ke dalam rancangan qanun tersebut. Dalam pasal 4 ayat 1 rancangan qanun tersebut, dinyatakan yang akan menjadi bendera Aceh adalah bendera bulan bintang yang dulu menjadi bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ketika konflik.
Salah seorang peserta Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di gedung AAC Dayan Dawood berharap sebaiknya yang disahkan sebagai bendera Aceh adalah bendera pada masa kerajaan. Sambil berbicara di depan anggota DPRA, dia memperlihatkan sebuah buku kecil dan menjelaskan bahwa bendera “alam peudeung” adalah bendera Aceh masa kerajaan dulu.
Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Wilayah Aceh, Faisal Qasim, meminta agar bendera yang akan digunakan sebagai bendera Aceh harus berbau Islam. Mereka tidak setuju jika bendera yang digunakan adalah bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM) seperti yang tertulis dalam rancangan qanun.
Ada yang menentang, ada juga yang menyatakan mendukung sepenuhnya bendera bulan bintang sebagai bendera Aceh. Hendra Fadli, salah seorang peserta dalam dengar pendapat di AAC Dayan Dawood, menyatakan qanun bendera tidak perlu diperdebatkan lagi.
Menurutnya, yang harus dilakukan sekarang adalah menyatukan ideologi dan politik keacehan. Menurut Hendra, bendera yang saat ini sedang dirancang dalam qanun bukanlah bendera milik kelompok, tetapi milik semua orang di Aceh.
“Di bawah bendera itu kita bertumpah darah berjuang mempertahankan ideologi politik Aceh,” kata Hendra.
Senada dengan Hendra Fadli, Sekretaris Jenderal Komite Mahasiswa dan Pemuda Aceh (KMPA) Hendra Fauzi menyatakan tidak ada aturan yang dilanggar dalam rancangan Qanun Bendera dan Lambang.
Menurut Hendra Fauzi, PP Nomor 77 Tahun 2007 tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk membenturkan qanun yang dibuat oleh DPR Aceh karena PP tersebut dibuat tidak berdasarkan konsultasi dengan Pemerintah Aceh.
“Setiap aturan dan kebijakan yang dibuat pemerintah pusat yang berhubungan dengan Aceh harus ada konsultasi dengan pemerintah Aceh,” kata Hendra Fauzi. Dia menyatakan kewajiban konsultasi itu tertuang dalam Perpres Nomor 75 Tahun 2008 yang menjelaskan tentang tata cara konsultasi antara pemerintah pusat dan pemerintah Aceh.
Dia juga meminta kepada seluruh Muspida di Aceh untuk mendukung langkah DPRA dalam menyusun Qanun Bendera dan Lambang Aceh agar tidak terjadi konflik. “Jangan ada pihak yang mengarahkan Aceh ke lembah konflik lagi,” kata Hendra Fauzi kepada ATJEHPOSTcom, Kamis 22 November 2012.
Reaksi datang dari Panglima Kodam Iskandar Muda Mayjen Zahari Siregar. Menurut jenderal bintang dua TNI ini, bendera dan lambang yang sekarang disusun oleh DPRA melanggar aturan di atasnya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah.
Menurut Zahari Siregar, Pemerintah Pusat mengizinkan setiap daerah memiliki lambang sendiri, sejauh tidak berbau separatis. Zahari Siregar juga menyatakan bahwa qanun tersebut bisa dikomunikasikan terlebih dahulu dengan semua pihak, termasuk Pemerintah Pusat.
“Kalau bisa jangan prematur. Jangan sampai direalisasikan di lapangan tanpa dikonsultasikan terlebih dahulu dengan Pemerintah Pusat,” kata Zahari Siregar kepada wartawan seusai menghadiri seminar antikorupsi bersama Komisi Pemberantasan Korupsi di aula Setda Pemerintah Aceh, Selasa 20 November 2012.
Sehari sesudahnya, pembahasan soal bendera juga mencuat dalam Rapat Koordinasi Pimpinan Daerah (Rakorpimda) di gedung serba guna Kantor Gubernur. Rapat ini dihadiri para pimpinan daerah, termasuk Pangdam Zahari Siregar. Di sana, Pangdam kembali menyinggung soal keberatannya terhadap penggunaan bendera dan lambang yang pernah dipakai GAM sebagai lambang dan bendera Aceh.
Gubernur Zaini Abdullah mengatakan, pembuatan qanun harus diselesaikan sebagai turunan dari Undang-Undang Pemerintahan Aceh.
“Presiden pernah meminta kepada saya untuk menuntaskan semua produk qanun yang berhubungan dengan MoU Helsinki dan UUPA. Ini merupakan amanah dari MoU Helsinki,” ujar Gubernur di hadapan peserta Rakorpimda.
Menurut Gubernur Zaini, perjanjian atau MoU Helsinki merupakan hal yang paling sakral dan menjadi pegangan bagi para pihak. “Kalau bisa jangan ada lagi yang mengungkit-ungkit masa lalu. Mari sama-sama kita mempertahankan perdamaian dan melaksanakan tugasnya sesuai yang diamanahkan undang-undang,” kata Zaini.
Dihubungi terpisah, Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Badruzzaman Ismail, meminta semua pihak harus melihat secara positif adanya Qanun Bendera dan Lambang Aceh. Dia menegaskan secara hukum tidak ada yang salah dengan rancangan Qanun Bendera dan Lambang.
“Bendera dan lambang itu adalah simbol kebersamaan dan persatuan Aceh,” kata tokoh adat Aceh ini, Jumat 23 November 2012.
Menurut Badruzzaman, bendera dan lambang Aceh adalah amanah dari MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh. “MoU dan UUPA itu bukan hanya milik satu kelompok, tapi juga milik seluruh rakyat Aceh dan juga Indonesia,” katanya.
Badruzzaman mengingatkan, MoU dibuat oleh perwakilan Pemerintah Indonesia dan juga perwakilan Gerakan Aceh Merdeka. “Jangan langsung dicap akan melahirkan konflik, jangan dibawa ke arah itu, semua kita bisa menyelesaikannya dengan kepala dingin,” katanya.
Dari dalam gedung dewan sendiri, Hasbi Abdullah meminta semua pihak jangan melihat rancangan qanun bendera dan lambang secara parsial. “Jangan melihat secara sepotong-potong dalam mengambil kesimpulan, lihatlah secara menyeluruh,” kata Ketua DPRA ini, Kamis 22 November 2012.
Hasbi menegaskan, pihaknya sangat menghormati aturan hukum yang berlaku di Indonesia. Dia juga meminta jangan sampai ketidaksetujuan terhadap rancangan Qanun Bendera dan Lambang itu disampaikan dengan aroma permusuhan dan mengancam masyarakat.
“Tak perlu berlebihan dan menebar statement yang seolah-olah mengerikan dan mengancam di Aceh,” kata Hasbi.
Dia menjelaskan, nantinya setelah rancangan qanun ini disahkan, juga akan ada Pemerintah Pusat yang menilai, sesuai dengan aturan hukum.
Pendapat Hasbi diperkuat oleh Ketua Komisi A DPR Aceh Adnan Beuransyah. Adnan mengatakan sudah bukan saatnya lagi menyebut Aceh sebagai separatis. “Setelah perjanjian damai, kita sudah bersaudara,” kata Adnan.
Tentang penggunaan lambang GAM, kata Adnan, lantaran GAM merupakan representasi masyarakat Aceh. Adnan menambahkan, ketika konflik,“Pemerintah pusat berunding dengan GAM. Kenapa tidak dengan gubernur atau yang lain. Ini menunjukkan pengakuan negara terhadap GAM sebagai representasi Aceh,” ujarnya.
“Sesungguhnya bendera yang diajukan hari ini menjadi bendera Aceh, bukan hanya dipakai oleh GAM, bukan sesuatu yang dilahirkan oleh GAM, tetapi jauh sebelumnya semasa kesultanan Aceh pun pernah muncul sebagai bendera Aceh walaupun kemudian ada penambahan-penambahan. Jadi, ini bendera Aceh yang kebetulan pernah dipakai oleh GAM,” kata Abdullah Saleh, kolega Adnan di DPRA.
Dari Jakarta, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengaku belum membaca rancangan qanun bendera dan lambang itu.
“Jika memang melanggar undang-undang akan kita evaluasi,” kata Gamawan Fauzi kepada ATJEHPOSTcom, Kamis, 22 November 2012. Dia menegaskan, evaluasi itu bukan hanya untuk Aceh, tetapi juga untuk seluruh daerah di Indonesia, termasuk Papua yang juga daerah otonomi khusus.
Kabar terakhir, sejumlah anggota DPR Aceh akan berangkat ke Jakarta untuk mengomunikasikan soal penggunaan bendera bulan bintang dan lambang singa-burak sebagai identitas Aceh.

Dialog tentu solusi terbaik untuk mencari jalan keluarnya.

SUMBER